Pertempuran Lengkong
Pada Januari 1946 pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dalam upaya untuk menguasai kembali wilayah Indonesia. Target pasukan tersebut adalah depot senjata tentara Jepang di Lengkong, Serpong. Pada 25 Januari 1946, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot. Berkekuatan 70 kadet Akademi Militer Tangerang dan 8 tentara Gurkha, misi pasukan Daan Mogot adalah mencegah senjata tentara Jepang jatuh ke tangan Belanda.
Prabowo menceritakan, pada pukul 16.00 pasukan tiba di markas Jepang. Kehadiran empat serdadu Gurkha berhasil meyakinkan Jepang bahwa rombongan pasukan yang datang yakni gabungan TKR dan sekutu.
Mayor Daan Mogot bersama beberapa tentara memasuki kantor militer Jepang. Di sana mereka memberikan penjelasan mengenai maksud kedatangan tersebut. Tetapi di luar markas, Lettu Subianto dan Lettu Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Nippon itu berhasil dikumpulkan.
“Namun tiba-tiba terdengar letusan senjata. Letusan ini memicu kepanikan tentara Jepang yang menduga mereka dijebak sehingga mereka mulai sigap dan menembaki tentara MAT,” ucap Prabowo.
Para taruna MAT pun mencoba memberikan perlawanan. Mereka melepaskan tembakan pula untuk membalas. Tetapi pertempuran itu tidak seimbang. Perang berakhir ketika hari mulai gelap. Prajurit yang masih hidup ditawan Jepang, sementara lainnya berhasil menyelematkan diri.
“Mayor Daan Mogot, Lettu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono dan dua perwira dari polisi tentara serta 33 prajurit gugur dalam pertempuran. Dua paman saya, Subianto dan Sujono, pada saat itu usianya baru 16 tahun,” tutur Prabowo.
“Dari cerita Daan Mogot dan Pertempuran Lengkong sejak kecil saya belajar sebuah pelajaran abadi. Pelajaran bahwa nilai-nilai patriotism, idealisme dan keberpihakan kepada Merah Putih dapat dimulai dari usia sangat muda,” ucap mantan Pangkostrad ini.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait