PURWOKERTO, iNews.id - TKI kaburan atau mereka biasa menyebut diri mereka sebagai swasta, ada juga yang menamai KBR (baca : ka be er) adalah TKI yang kabur dari majikan tetapi masih bekerja di Taiwan. Alasan kabur mereka bermacam-macam mulai dari tidak cukup waktu istirahat, pekerjaan berat, majikan pelit, tidak diberi makan, tidak disetujui agen karena ingin pindah majikan, dan masih banyak lagi segumpal alasan.
Sebut saja Icha (25), mantan TKI kaburan dari Taiwan yang mau berbagi kisahnya dengan iNews Purwokerto beberapa waktu lalu. Icha memang bukan nama sebenarnya, tapi kini dia telah kembali ke Indonesia dan tengah mengenyam pendidikan di salah satu Universitas di Kota Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Meskipun demikian dia tidak malu untuk berbagi kisahnya, dibalik perjuangan para pahlawan devisa di negeri tetangga, ternyata ada kisah pilu yang harus dialami mereka para TKI Kaburan.
Dia mengatakan, untuk swasta (kata lain TKI kaburan) yang belum berpengalaman biasanya akan memilih untuk bergabung dengan penadah TKI kaburan untuk bekerja. Ada juga sebagian yang mengandalkan kenalan untuk nebeng sampai kiranya mereka mendapat pekerjaan.
Sektor pekerjaan bagi swasta ini ternyata cukup luas. Dari pekerja rumahan, rumah sakit, pabrik, kebun, sampai pelayan hidung belang. Maka tak heran jika angka kaburan semakin bertambah karena pekerjaan yang ditawarkan cukup beraneka ragam dan tentunya dengan gaji yang tinggi pula.
Dia mengisahkan awal mula dirinya bekerja sebagai TKI di Taiwan hingga akhirnya dirinya memutuskan untuk menjadi TKI kaburan. Kisah itu dimulai sekitar tahun 2014 saat dirinya memutuskan untuk berangkat bekerja menjadi seorang TKI melalui sebuah agen untuk bekerja di sebuah pabrik. Namun seiring berjalannya waktu, pekerjaan yang dia lakukan tidak sesuai dengan apa yang saat itu dijanjikan oleh agen TKI tersebut. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk minggat dari pekerjaanya tersebut dan pergi dari kota Hsin Chu meuju ke Taipei, Taiwan.
"Saya berangkat ke Taiwan tahun 2014, awalnya kerja di pabrik, sampai sana kok merasa tidak seperti yang dijanjikan, akhirnya bertahan sampai 9 bulan lalu minggat. Saat pergi saya sudah ada tujuan dan sempat ditampung oleh agensi kaburan bernama agen Ahyong. Disana rata -rata orang Indonesia yang mengalami nasib sama," ujar Icha yang berasal dari Lampung ini.
Sekitar 1 tahun 3 bulan dia memilih sebagai TKI kaburan dan bekerja mulai dari menjadi seorang pengasuh balita hingga menjadi seorang asisten dokter selama 4 bulan, sebelum akhirnya dirinya tertangkap pihak berwajib di Taiwan.
"Pas kerja di rumah sakit saya sudah freelance dan tidak lagi terikat oleh agen kaburan, hingga akhirnya saya dipilih menjadi seorang asisten dokter karena saya bisa berbahasa Inggris. Meskipun awalnya pihak rumah sakit sempat takut karena visa kerja yang saya gunakan berbeda dengan kota tujuan," ujarnya.
Walaupun bekerja sebagai swasta dan dapat memilih pekerjaan serta mudah untuk berpindah pekerjaan, mereka juga bisa dengan bebas menentukan libur mereka. Bahkan bisa bertemu banyak orang dan menambah wawasan, selama tidak ketahuan oleh ‘pakdhe’ (pakdhe adalah julukan khusus untuk polisi-polisi Taiwan yang dibuat anak KBR), maka aksi mereka akan berjalan mulus.
"Iya, hantu paling menyeramkan untuk anak KBR adalah pakdhe. Mendengar nama pakdhe saja rasanya deg-degan. Terlebih ketika para KBR bersimpangan jalan dengan pakdhe, walaupun mereka menunjukkan ekspresi santai tetapi sebenarnya mereka menyimpan beribu perasaan takut, takut ditanya KTP," ucapnya.
Dia mengatakan, biasanya para pekerja rumahan yang resmi, bisa mengambil cuti satu kali dalam sebulan. Bisa dibayangkan betapa penatnya bekerja 29 hari. Moment itu mereka manfaatkan untuk bertemu kawan dan jalan-jalan. Tapi tak sedikit juga dari TKI yang tidak mendapat hari libur dari majikan. Maka dari itu sebagian TKI nekat untuk menjadi kaburan agar tidak terkekang oleh pekerjaan dan bisa lebih menikmati hidup.
Menurut dia, tidak semua kaburan di Taiwan bisa menjalankan aksinya dengan mulus. Setiap keputusan pasti memiliki resiko tersendiri yang harus ditanggung. Kenikmatan bisa bekerja lepas, libur bebas, dan lenggak-lenggok di negara orang lain tanpa membayar pajak, tentu ada resiko yang harus di tanggung dari itu semua, yaitu penjara. Seperti dirinya yang harus mendekam di bui, padahal baru satu tahun menjadi pegawai swasta di Taiwan.
Meskipun ada juga yang 3 bulan sudah tertangkap, ada yang 7 tahun baru tertangkap, dan ada yang 10 tahun baru tertangkap. Tidak ada teori khusus untuk menghindari sergapan polisi. Karena polisi bisa saja menanyakan KTP tanpa diduga-duga. Seorang kaburan tidak bisa menargetkan akan berapa lama tinggal di Taiwan. Hari ini liburan, bisa jadi esoknya ditangkap polisi.
"Pas habis joging dan mau pulang naik taksi sama teman, kok tiba-tiba ada razia polisi. Karena kita tidak bisa menunjukkan dokumen, akhirnya kita di bawa ke Kantor Imigrasi dan ditahan selama lebih dari 45 hari. Saat itu tepat hari Rabu tanggal 4 Januari 2017, " ucap Icha sambil menunjukkan foto saat kedua tangan dan kakinya diborgol didalam sebuah kendaraan.
Saat dirinya ditahan di dalam penjara Imigrasi, dirinya banyak bertemu dengan orang-orang dari berbagai negara yang mengalami nasib yang sama. Dalam satu ruangan kamar tersebut diisi oleh sekitar 30 orang yang diantaranya dari Vietnam, Indonesia, bahkan Amerika. Di ruangan itu pula dia banyak mendengarkan berbagai kisah para TKI Kaburan yang harus bekerja sebagai pelayan hidung belang, salah satunya yaitu Shinta.
“Ada teman yang sempat curhat dengan saya yang bekerja melayani pria hidung belang dan biasa diberi insentif 1.200 NTD (Rp 500.000) untuk melayani seorang pelanggan. Dalam satu malam dia biasa melayani sampai tujuh pria hidung belang,” ungkap Icha, sewaktu berada di dalam tahanan yang sama dengan temannya.
Selain cerita Shinta, adapula cerita Misriyati yang biasa dipanggil Sri. Dia sangat sedih saat harus tertangkap dan mendekam didalam tahanan Kantor Imigrasi saat tengah liburan di Taipei Main Station, itu adalah kali pertamanya Sri menginjakkan kaki di Taipei dan harus menerima pil pahit setelah sebelumnya dia hanya berkutat di kota Taichung, dan aman dari sergapan polisi.
“Ya pasti sedih lah. Makan ngantri, mandi ngantri, telpon ngantri," Kata Sri saat bercerita dengan Icha ketika berada didalam tahanan bersama.
Dia mengatakan jika Sri menjalani masa tahanan singkat, kurang dari satu bulan karena dia dapat menebus uang denda dan tiket pesawat untuk kembali lagi ke kampung halaman di Indonesia. Uang denda yang harus dikeluarkan adalah 20.000 Taiwan Dollar atau setara dengan 8,5 juta Rupiah. Keberadaan paspor juga menentukan cepat lambatnya proses kepulangan.
Sehari setelah mendekam di penjara, lanjut dia, dirinya langsung menelpon KDEI (Kantor Dagang Ekonomi Indonesia) selaku penanggung jawab atas masalah TKI. Pihak KDEI menanyakan nama lengkapnya dan nomor paspornya. Selain itu pihak KDEI juga menanyakan apakah dirinya mmemiliki sangkutan gaji dengan majikan resmi terakhir atau tidak, mereka juga menanyakan dimana keberadaan paspornya sekarang.
"Akhirnya, majikan saya membayar tunggakan gaji saya sebesar 7.000 NTD dan mengirimkan paspor saya ke tahanan via pos," ucapnya.
Tetapi uang tunggakan gaji tersebut hanya dia terima sebesar 5.000 NTD atau setara dengan Rp 2 juta saja dari 7.000 NTD atau Rp 2.8 juta, karena terkait pajak yang harus Icha bayar. Dan juga untuk menutup biaya denda, sehingga uang 5.000 NTD tersebut tidak diserahkan kepada dirinya, tetapi dikeola oleh pihak imigrasi untuk proses kepulangannya pada tanggal 26 Februari 2017.
"Meskipun uang itu tidak sampai di tangan saya, tetapi saya cukup puas karena KDEI melaksanakan tugasnya dengan baik. Saya mendekam di penjara imigrasi Yilan selama lebih dari 45 hari dihitung sejak saya tertangkap," jelas dia.
Dia mengungkapkan, bagi para tahanan yang tidak sanggup membayar uang denda akan mendapat masa tahanan antara 40-60 hari tergantung subsidi dari pemerintah Indonesia. Subsidi ini diberikan terbatas, sehingga dalam waktu satu minggu di penjara Yilan, hanya 10 WNI penerima subsidi yang diperbolehkan pulang.
"Permasalahan kaburan di Taiwan ini sebenarnya merupakan permasalahan yang sulit untuk diselesaikan. Sejalan dengan diadakannya sidak oleh imigrasi dan kepolisian Taiwan di semua tempat, baik di tempat umum maupun rumah-rumah penduduk yang disinyalir sebagai tempat berkumpulnya KBR, namun tetap saja jumlah kaburan tidak pernah berkurang karena setiap hari ada saja TKI yang kabur. Kaburan ibarat tunas kunyit, ketika tunas lama dipotong maka akan tumbuh tunas yang baru," ucap Icha menutup kisahnya.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait