Peringatan hari ketiga disebut Appasili, atau didinginkan (dibersihkan), semua alat-alat yang pernah almarhum gunakan dibersihkan supaya sosok almarhum tidak lagi 'terbayang-bayang' di dalam rumah. Segala barang milik almarhum diambil, dikumpul, dan dipercik-percik daun khas Kajang, yakni daun dinging-dinging.
Sebagai contoh kasur yang pernah dipakai tidur oleh almarhum, oleh keluarga dicuci di sungai dan dibawa pulang namun adapula yang sekaligus menghanyutkannya.
Ritual hari kelima disebut hari Sa’la, makanan disajikan dan didoakan, masyarakat sekitar menyebutnya dibaca-bacai dan keluarga terdekatpun berkumpul dalam rumah tersebut.
Hari ke-10 disebut Nialle Banngina, tetangga atau orang-orang sekitar membawa makanan ke rumah duka. Saat itu juga dimainkan permainan seruling yang oleh masyarakat lokal disebut Basing sebagai pengiring kesedihan.
Sedangkan pada peringatan hari ke-100, diiringi ritual pemotongan kerbau. Pemotongan seekor kerbau disebut Nilajo-lajo. Jika dua ekor dinamakan Nidampo’. Pada upacara ini disediakan pula makanan seperti songkolo, kue merah (Dumpi Eja), Ruhu’-ruhu’ (lazim disebut bannang-bannang). Pada peringatan ke-100 hari inilah Ammatoa dengan Galla-nya diundang ke acara tersebut.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait