Ditengarai kendala tersebut salah satunya kecukupan permodalan sehingga kontribusi korporasi kecil dalam hilirisasi masih terbatas tidak hanya dalam menggunakan teknologi digital namun juga teknologi dalam pengolahan yang berdampak pada hasil yang belum optimal.
Sebagai upaya dalam mendukung program hilirisasi, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan perubahan ketiga atas PADG No. 11 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial yang berlaku mulai 1 April 2025.
Dalam perubahan kebijakan tersebut, Bank Indonesia melakukan penyesuaian insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk lebih mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah termasuk sektor Pertanian, Perdagangan, dan Industri Pengolahan sebagai salah satu program hilirisasi non minerba.
Dalam kebijakan KLM terbaru ini, Bank Indonesia telah menetapkan perubahan yaitu cakupan kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor tertentu, penyesuaian besaran KLM pada masing-masing sektor tersebut serta penyesuaian treshold pertumbuhan kredit menjadi 3 level yaitu pertumbuhan kredit dibawah 0%, pertumbuhan kredit diantara 0% sampai dengan 5%, dan pertumbuhan kredit di atas 5%.
Bagi perbankan yang mampu menyalurkan pada cakupan sektor-sektor yang telah ditentukan, akan memperoleh insentif berupa pengurangan giro bank di Bank Indonesia dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM). Adapun besaran insentif terdapat kenaikan dari semula maksimal sebesar 4%, meningkat menjadi sebesar 5% .
Keseluruhan besaran insentif sebesar 5% tersebut terdiri dari beberapa komponen yaitu Pertama, insentif paling besar 3,2% untuk penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor tertentu (diantaranya hilirisasi). Namun untuk kedua komponen lainnya tidak mengalami perubahan yaitu insentif kepada bank penyalur kredit/pembiayaan inklusif (UMKKM, Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR) termasuk kepada Ultra mikro dan masyarakat unbanked) tetap sebesar 1,3% dan insentif terhadap pembiayaan hijau paling besar 0,5 persen.
Penyesuaian kebijakan tersebut tentunya dapat ditangkap oleh pelaku UMKM untuk berkontribusi dalam pelaksanaan hilirisasi melalui program pengembangan komoditas berbasis klaster. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan batasan plafon untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp500 juta yang dapat diberikan kepada suatu kelompok yang memiliki mitra usaha. Skema ini diberikan kepada kelompok yang dikelola secara bersama dalam bentuk klaster dengan menggunakan mitra usaha untuk komoditas perkebunan rakyat, peternakan rakyat, perikanan rakyat, industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, atau komoditas sektor produktif lain yang bisa dikembangkan menjadi KUR khusus.
Kondisi ini tentunya menjadi angin positif bagi para pelaku UMKM berbasis klaster untuk dapat mengoptimalkan pendanaan dalam memenuhi gap teknologi maupun sumber daya lainnya dalam meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sehingga produk hilirisasi pada sektor pertanian mampu bersaing di pasar global.
Di sisi lainnya, penyaluran kredit KUR kepada UMKM klaster memiliki tingkat risiko lebih terukur bagi perbankan, karena kelompok usaha yang dibiayai memiliki ekosistem dan saluran pemasaran yang jelas sehingga potensi kredit macet relatif lebih rendah. Selain hal tersebut, pembiayaan kredit melalui KUR secara tidak langsung akan meningkatkan tingkat literasi dan inklusi keuangan.
Dengan langkah-langkah sinergis melalui kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama dengan pemerintah, diharapkan mampu mendorong UMKM semakin banyak dalam berpartisipasi dalam program hilirisasi sehingga pemerataan ekonomi dapat terwujud dan mampu menopang ketahanan pangan nasional.
Penulis adalah Analis Yunior KPwBI Purwokerto
Editor : Elde Joyosemito
Artikel Terkait