Kemelut di Tanah Leluhur, Ketika Data dan Derita Bertemu dalam Sebuah Novel

Elde Joyosemito
Dr?Barid?Hardiyanto membuat karya “Kemelut di Tanah?Leluhur”, sebuah novel digital yang lahir dari proyek #SastraAIAkademik. (Foto: Istimewa)

PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id — Bagaimana caranya membuat kebijakan agraria yang berlapis data menjadi santapan pembaca awam? Dr Barid Hardiyanto menawarkan jawabannya lewat “Kemelut di Tanah Leluhur”, sebuah novel digital yang lahir dari proyek #SastraAIAkademik. 

Berbekal temuan disertasinya tentang program reforma agraria pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, peneliti kebijakan ini memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk mengolah fakta akademik menjadi kisah humanistik.

“Tidak semua warga sempat membuka jurnal ilmiah, tetapi hampir semua orang menyukai cerita,” kata Barid saat ditemui seusai peluncuran e‑book, akhir pekan lalu. “Lewat fiksi, konflik agraria bisa dihadirkan sedekat denyut nadi masyarakat—bukan sekadar deretan angka di lampiran laporan pemerintah.”

Novel bersetting di perbukitan fiktif Banyupadi. Tokoh utama, Karsim, adalah petani muda yang menggugat hak atas tanah warisan leluhurnya setelah digusur perusahaan perkebunan raksasa. Bersama sahabatnya Jalendra, ia mendirikan Serikat Tani Juang (SeTANG) untuk menantang dominasi korporasi dan berhadapan dengan aparat negara. Namun perjuangan itu mengoyak persatuan desa dan menebar retak dalam rumah tangga Karsim sendiri.

Tokoh‑tokoh seperti Karsim, Sarinah, dan Jalendra dirancang sebagai perwujudan beragam lapisan sosial: petani, buruh musiman, hingga elite lokal. “Mereka bicara soal martabat dan harga diri, bukan hanya hektare dan sertifikat,” ujar Barid. Seluruh dialog, lanjutnya, dihasilkan dari “prompt” AI yang disuntikkan data lapangan, transkrip wawancara, serta statistik konflik agraria 2004–2014.

#SastraAIAkademik diinisiasi Barid untuk “menjodohkan” universitas dengan ruang baca publik. Dalam tahap perdana, tim risetnya memilih isu agraria karena tingkat literasi konflik lahan dinilai masih rendah, meski Indonesia menempati lima besar kasus sengketa tanah di Asia Tenggara. Kedepan, proyek ini berencana menerjemahkan kajian lain—mulai kesehatan publik hingga perubahan iklim—ke format cerpen, naskah drama, bahkan novel grafis.

“Tujuannya sederhana: membuat sains terasa manusiawi,” jelas Barid. Ia meyakini metode ini dapat memperluas jangkauan riset, sekaligus memberi peneliti indikator dampak sosial yang lebih konkret ketimbang sekadar sitasi akademik.

Dalam proses penulisan, Barid memanfaatkan model bahasa generatif untuk merangkai alur, memoles dialog, dan menguji nuansa emosi. AI juga dipakai memetakan kronologi kebijakan, memastikan setiap bab tetap bersandar pada kenyataan historis. “Kami tetap melakukan fact‑checking manual agar tidak tergelincir menjadi romantisasi,” tegasnya.

Ia menyebut eksperimen ini sebagai “hibrida sastra‑akademik”—di mana kekuatan data bertemu kelembutan narasi. Hasilnya adalah novel sepanjang 280 halaman yang, menurut Barid, “lebih mudah menggugah empati pembaca ketimbang slide presentasi.”

Peluncuran “Kemelut di Tanah Leluhur” mendapat respons hangat komunitas literasi dan aktivis agraria. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Agraria, Siti Rahmawati, menilai karya tersebut “mampu memotret jerat struktural dengan bahasa rakyat.” Sementara dosen sastra Universitas Gadjah Mada, Dr Mandira Lestari, menyebutnya “format baru penyebaran ilmu yang relevan di era banjir informasi.”

Novel ini tersedia gratis dalam format ePub dan PDF di situs resmi #SastraAIAkademik. Pembaca diajak mengeja setiap konflik, mendalami setiap duka, dan—siapa tahu—menemukan secuil diri mereka di antara baris‑baris perjuangan Karsim.

Editor : EldeJoyosemito

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network