Lulus SD, ia pun melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMP. Kali ini jarak sekolahnya dengan rumah lebih jauh, sekitar sembilan kilometer ditempuh dengan berjalan kaki setiap harinya. Namun lagi lagi ia tak pernah menyerah akan kondisi kehidupannya.
"Begitu SMA saya ngekost, tapi dengan biaya yang sangat minim, seminggu sekali pulang dengan membawa beras dan dengan satu lawuk yang sudah matang. Jadi kesenangan saya ikan laut, jadi seminggu bisa awet," ujarnya.
Guru Besar Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang mengangkat tentang 'Blended Learning Berbasis Smart Classroom' dalam Pembelajaran Matematika ini setelah lulus SMA kemudian mengikuti tes menjadi Prajurit TNI Angkatan Darat di Bandung.
Sebagian tes yang diikuti dilaluinya dengan mudah dan membuatnya lulus, ia pun dipindah dari Bandung ke Magelang untuk mengikuti tahapan tes selanjutnya. Namun apa daya, ia gagal saat tes pantohir pada tahun 1984.
Karena tidak lolos itu, ia pun tak berani pulang ke rumahnya di Tasikmalaya. Hingga ia putuskan untuk menempuh pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Jogja, sekarang Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan biaya kuliah dari mengajar dan berjualan buku di shoping Beringharjo.
"Karena tidak lolos, akhirnya saya tidak pulang, karena sudah kadung pergi jadi saya cari sekolah sendiri ke Jogja. Di Jogja pokoknya saya berfikir orang tua saya jangan sampai tahu kalau saya kuliah. Karena biaya kuliah isinya nangis. Kalau jual tanah semua tidak mungkin satu semester selesai, apalagi selama kuliah. Satu semester juga belum tentu cukup. Akhirnya saya cari usaha sendiri, mulai ngajar dan jualan buku di shoping Beringharjo," ujar Ahmad.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya kuliahnya itu, ketika semester dua, ia mulai mengajar di SD Muhammadiyah dan semester enam, ia mulai mengajar di SMK Negeri 3 Stasiun Tugu Gowongan Jogja.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait