Allah Ta’ala berfirman,
ينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (31)
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij: 29-31).
Orang yang melampaui batas adalah orang yang zalim dan berlebih-lebihan. Allah tidaklah membenarkan seorang suami bercumbu selain pada istri atau hamba sahayanya. Selain itu diharamkan.
Namun, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Imam Ahmad, hukum onani itu makruh tanzih (sebaiknya dijauhi). Jika onani dilakukan untuk menekan syahwat dan takut akan terjerumus zina, maka itu boleh secara umum, bahkan ada yang mengatakan wajib.
Karena kondisi seperti ini berarti melakukan yang terlarang di saat darurat atau mengerjakan tindakan mudhorot yang lebih ringan. Imam Ahmad dalam pendapat lainnya mengatakan bahwa onani tetap haram walau dalam kondisi khawatir terjerumus dalam zina karena sudah ada ganti onani yaitu dengan berpuasa. Ulama Malikiyah memiliki dua pendapat.
Ada yang mengatakan boleh karena alasan kondisi darurat. Ada yang berpendapat haram karena adanya pengganti yaitu dengan berpuasa. Ulama Hanafiyah seperti Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwa jika ingin melepaskan diri dari zina, maka onani wajib dilakukan.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta