Konon ceritanya, monyet-monyet di sekitar Masjid Saka Tunggal menurut legenda merupakan santri-santri yang dikutuk oleh kyai saka tunggal menjadi monyet. Mereka dikutuk karena nakal dan tidak melaksanakan salat, dan kerap membuat kegaduhan ketika orang-orang tengah melaksanakan salat.
Kyai akhirnya marah dan mengutuk santri - santrinya tersebut menjadi monyet, seperti tipikal monyet yang susah diatur, sering ganggu, dan suka mencuri.
Namun dibalik semua legenda dalam masjid berusia ratusan tahun itu, keheningan dan kedamaian sangat terasa semakin lengkap ketika berada di dalamnya. Tembok yang khas terbuat dari anyaman bambu bermotif wajik melapisi bagian interior masjid berukuran 15 x 17 meter itu. Semilir angin lembut menelusup dari kisi-kisi jendela yang disusupi cahaya matahari, kemudian berpendar menerangi ruangan.
Sejarah Panjang Masjid Saka Tunggal di Banyumas, Tertua di Indonesia yang Masih Gunakan Penanggalan Jawa. Foto: Arbi Anugrah
Sebuah saka atau tiang penyangga berukuran 40 x 40 centimeter dengan tinggi sekitar 5 meter, membuat masjid tetap tegak berdiri menyangga langit-langit atau wuwungan masjid. Tiangnya yang berwarna hijau dipenuhi ukiran bunga dan tanaman serta dilindungi kaca.
Berdasarkan cerita, Saka Tunggal yang berada di tengah bangunan masjid itu sebagai titik induk berdirinya masjid dengan ditopang di sekeliling saka-saka kecil. Filosofi dari saka tunggal adalah bersatunya atau manunggalnya manusia dengan Sang Pencipta. Manusia menghormati Sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk berbuat hal-hal yang baik.
Sementara pada bagian ujung atas saka tunggal tersebut, terdapat empat sayap kayu yang disebut sebagai empat kiblat, lima pancer yaitu menunjuk 4 arah mata angin dan 1 pusat atau arah menunjuk ke atas. Semuanya bermakna hidup harus memiliki kiblat atau pedoman, yaitu Allah SWT.
Empat arah itu juga melambangkan manusia yang terdiri dari unsur air, udara atau angin, api, dan tanah berserta dengan nafsu-nafsu yang menyertainya, antara lain aluamah, mutmainah, supiah, dan amarah.
Makna dari unsur-unsur tersebut adalah belajar nrimo (menerima) atau mengendalikan sifat itu. Kendalikan juga sifat api (amarah). Angin yang menunjukkan kehalusan dan sifat air yang selalu mengalir ke tempat rendah yang memiliki arti harus merendahkan hati.
Meski demikian, sebenarnya sudah banyak ornamen asli pada Masjid Saka Tunggal yang mengalami perubahan. Sehingga ornamen aslinya sudah tidak bisa lagi dilihat oleh generasi sekarang.
Editor : Arbi Anugrah