"Caranya sederhana, seperti rutin memeriksa tempat penampungan air, menyimpan baju bekas pakai di wadah tertutup, dan menggunakan obat nyamuk," tambahnya.
dr. Aris juga mengingatkan bahwa fogging bukanlah metode pencegahan yang paling efektif dalam pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak selalu meminta fogging kepada pemerintah, karena pelaksanaannya harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
Syarat dilakukannya fogging yakni pertama, terjadi kasus kematian akibat DBD. Kedua terdapat satu kasus DBD, dan dalam radius 100 meter ditemukan satu penderita baru DBD dalam 3 minggu berturut-turut. Ketiga Angka Bebas Jentik (ABJ) lingkungan sekitar kurang dari 95%. Keempat terdapat 3 penderita demam tanpa sebab dalam radius 100 meter dalam 3 minggu berturut-turut.
"Jadi, fogging tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut. Yang terpenting adalah kesadaran kita untuk menjaga lingkungan masing-masing," tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemahaman masyarakat bahwa tidak semua demam berarti DBD. Bisa jadi itu Demam Dengue (DD), Demam Chikungunya, atau Demam Tifoid. Sering kali masyarakat langsung menyimpulkan seseorang terkena DBD hanya karena mengalami demam, padahal belum tentu benar, meskipun penyakit-penyakit tersebut sama-sama dapat menurunkan trombosit.
"Saya harap masyarakat dapat memahami bahwa nyamuk Aedes aegypti ini memiliki karakteristik khusus. Ia hanya hidup di genangan air bersih, menggigit pada pagi dan sore hari, memiliki radius terbang maksimal 200 meter, dan hanya nyamuk betina yang menyebabkan DBD," jelas dr. Aris.
Editor : Elde Joyosemito