get app
inews
Aa Text
Read Next : Tari Banyumas Megot Meriahkan Hari Jadi ke-454 Kabupaten Banyumas

Tertua di Indonesia, Ini Jejak Sejarah Masjid Saka Tunggal dan Tradisi Islam Aboge

Minggu, 09 Maret 2025 | 17:14 WIB
header img
Arsitektur bagian dalam Masjid Saka Tunggal di Cikakak, Wangon, Banyumas. Foto: Arbi Anugrah

Tiang ini dihiasi ukiran bunga dan tanaman, serta dilindungi kaca agar tetap terjaga keasliannya. Saka Tunggal melambangkan persatuan antara manusia dengan Sang Pencipta, di mana manusia harus senantiasa menghormati Allah dan menjalani kehidupan dengan penuh kebaikan.

Di bagian atas tiang, terdapat empat sayap kayu yang melambangkan konsep “4 Kiblat 5 Pancer”, yaitu empat arah mata angin dengan satu pusat yang menunjuk ke atas. Makna filosofisnya adalah bahwa setiap manusia harus memiliki kiblat atau pedoman hidup, yakni Allah.

"Empat arah juga melambangkan unsur dasar manusia, yaitu air, tanah, api, dan udara, serta sifat-sifatnya seperti nafsu aluamah, mutmainah, supiah, dan amarah. Semua itu harus dikendalikan agar hidup lebih harmonis," jelas Sulam.

Meskipun masih mempertahankan konsep asli, banyak ornamen di dalam masjid yang telah mengalami perubahan sejak renovasi pada 1976. Generasi saat ini tidak lagi dapat melihat desain asli bangunan masjid, kecuali pada bagian Saka Tunggal yang masih utuh.

Tradisi Ziarah dan Islam Aboge

Selain arsitektur dan legendanya yang unik, Masjid Saka Tunggal juga dikenal karena masih mempertahankan tradisi Islam Aboge dalam menentukan hari-hari besar Islam menggunakan perhitungan Jawa.

Islam Aboge menggunakan sistem perhitungan berdasarkan siklus delapan tahun (sewindu), yang terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim Akhir. Selain itu, sistem penanggalan ini juga mengacu pada hari pasaran Jawa seperti Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing.

Metode ini sudah digunakan sejak abad ke-14 oleh para wali dan kemudian dikembangkan oleh Raden Rasid Sayid Kuning dari Kerajaan Pajang. Hingga kini, jemaah masjid masih mengikuti perhitungan ini dalam menetapkan hari raya dan perayaan keagamaan lainnya.

Selain itu, masyarakat setempat juga masih melestarikan tradisi “penjarohan” atau ziarah ke makam leluhur. Setiap 26 Rajab, warga bergotong-royong membersihkan dan mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid serta area makam.

“Yang dimaksud jaroh itu adalah agar dijaga antara njaba lan njero atau menjaga luar dan dalam. Artinya kita menjaga tali silahturahmi dengan sesama dan juga menjaga kepercayaan kepada Allah,” tuturnya.

Masjid Saka Tunggal tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga saksi bisu perjalanan sejarah Islam di Nusantara. Berdasarkan penelitian arsitektur yang dilakukan oleh Yohana Nursruwening dan Wita Widyandini dari Universitas Wijayakusuma (Unwiku) Purwokerto, usia masjid ini diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun.

Hal ini diperkuat dengan angka 1288 Hijriyah yang tertera pada tiang utama masjid. Jika dikonversi ke dalam kalender Masehi, angka tersebut menunjukkan tahun 1522, yang semakin menguatkan klaim bahwa masjid ini merupakan salah satu yang tertua di Indonesia.

Meski telah mengalami berbagai perubahan, nilai sejarah, tradisi, dan filosofi Masjid Saka Tunggal tetap terjaga hingga kini, menjadikannya salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan.

 

Editor : Arbi Anugrah

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut