Demo UU ODOL, dan Ironi Hukum Perampasan Aset Koruptor: Suara Jalanan yang Gugat Keadilan Ekonomi

Oleh: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy
Suara klakson menggema di berbagai sudut kota. Ribuan sopir truk dari seluruh penjuru Indonesia turun ke jalan, bukan untuk menciptakan kekacauan, melainkan menuntut keadilan. Spanduk-spanduk mereka menyuarakan protes: “Kami Menolak RUU ODOL 2025!”, “Kami Bukan Kriminal!”, hingga “Gerakan Sopir Se-Indonesia Menggugat.” Ini adalah jeritan kolektif dari mereka yang selama ini menjadi tulang punggung logistik nasional.
Ironisnya, ketika Undang-Undang ODOL (Over Dimension Over Load) disahkan dan mulai ditegakkan dengan keras, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor justru terus tertunda di parlemen. Rakyat kecil ditekan, sementara pencuri uang negara dilindungi oleh kelambanan sistem hukum. Inilah potret kegagalan etika politik dan ekonomi di negeri ini.
Apa Itu ODOL dan Mengapa Diprotes?
ODOL merujuk pada kendaraan yang melampaui batas muatan atau ukuran yang ditentukan oleh hukum. Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, mendorong penindakan terhadap truk ODOL demi alasan keselamatan, efisiensi logistik, dan ketahanan infrastruktur.
Namun, dalam implementasinya, sopir justru menjadi korban utama. Truk yang sering kali dimodifikasi atas permintaan pemilik barang, saat ditindak aparat, justru menjadikan sopir sebagai pihak yang dijerat hukum. Sementara pemilik modal, acap kali lolos dari tanggung jawab.
Padahal menurut Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), lebih dari 70% distribusi barang nasional mengandalkan jalur darat. Menindak sopir tanpa memperbaiki sistem logistik sama artinya dengan mengobati gejala tanpa menyentuh akar penyakit.
Dampak ODOL terhadap Biaya Logistik
Studi LPEM FEB UI pada 2021 mencatat bahwa biaya logistik Indonesia mencapai 23,5% dari PDB, jauh di atas rata-rata negara ASEAN yang hanya 10-15%. Inefisiensi sistem logistik, termasuk permasalahan kendaraan ODOL, menjadi salah satu penyebab utama.
Namun, penerapan UU ODOL tanpa perbaikan menyeluruh pada sistem logistik, mulai dari regulasi muatan hingga kejelasan hubungan kerja antara sopir dan perusahaan, justru menambah beban bagi pihak paling rentan: para sopir.
Editor : EldeJoyosemito