Logo Network
Network

Muhammadiyah Jumlah Kiainya Menurun, 3 Faktor Ini Jadi Penyebab

Muhibudin Kamali
.
Senin, 18 April 2022 | 10:45 WIB
Muhammadiyah Jumlah Kiainya Menurun, 3 Faktor Ini Jadi Penyebab
Mengapa Muhammadiyah tidak punya kiai. Hal ini dapat dilihat dari susunan kepengurusannya, tak ada yang bergelar kiai. (Foto: Ist)

JAKARTA, iNews,id - Mengapa Muhammadiyah tidak punya kiai. Hal ini dapat dilihat dari susunan kepengurusannya, tak ada yang bergelar kiai. Kalau pun ada jumlahnya sangat sedikit. 

Begitulah pandangan orang terhadap organisasi modern ini. 

Ketua PP Muhammadiyah Syafiq Mughni pun mengakui kesan tersebut. Padahal, Muhammadiyah didirikan oleh seorang kiai dan pernah dipimpin para kiai. 

”Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 oleh seorang kiai bernama Ahmad Dahlan. Tokoh-tokoh Muhammadiyah pd periode awal, baik di pusat maupun daerah, juga adalah kiai. 


Secara berturut-turut PP Muhammadiyah diketuai oleh kiai, sejak Ahmad Dahlan sampai Azhar Basyir, yang wafat tahun 1994,” tulis Syafiq dalam rangkaian twit berjudul Mengapa Jumlah Kiai di Muhammadiyah Semakin Menurun?, dikutip Senin (18/4/2022). 

Menurut Syafiq, kesan menurunnya jumlah kiai di Muhammadiyah makin kuat apabila dilihat dalam kepemimpinan organisasi maupun pengelolaan amal usaha seperti perguruan tinggi, sekolah dasar dan menengah, rumah sakit, dan panti sosial. Kesan tersebut muncul karena tiga faktor. 

1) Muhammadiyah tidak memiliki banyak pesantren tradisional 
2) Kiai lebih mudah tumbuh dalam masyarakat tradisional 
3) Modernitas yang dianut oleh Muhammadiyah juga menyebabkan tidak banyak yang berminat untuk menjadi kiai.

Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan bahwa pesantren tradisional merupakan lembaga pendidikan yang intensif mengajarkan kitab-kitab kuning, sekaligus ilmu-ilmu untuk bisa menguasai kitab tersebut. 

Penguasaan terhadap kitab kuning merupakan faktor penting dalam diri seorang kiai. Di pesantren tradisional inilah, kiai memiliki akar yang sangat kokoh. “Pesantren-pesantren modern milik Muhammadiyah secara umum menekankan penguasaan ilmu-ilmu agama yang aplikatif, tanpa menjadikan kitab kuning sebagai rujukan utama,” ujar Syafiq. 

Menurut Syafiq, dalam tradisi pesantren kedudukan lebih ditentukan sejak lahir (ascribed status). Seseorang yang berdarah “hijau” atau keturunan kiai punya kesempatan lebih besar untuk menjadi kiai dibanding orang lain. Sebaliknya, dalam masyarakat modern kedudukan seseorang ditentukan oleh prestasinya (achieved status).

Follow Berita iNews Purwokerto di Google News

Halaman : 1 2
Bagikan Artikel Ini