Menurut Husein di dalam hanggar masing-masing minimal disediakan mesin Bag Conveyor (pemilah sampah manual) dan Gibrik (mesin pencuci sampah plastik). Secara keseluruhan peralatan nilainya hanya Rp 300 juta, sedangkan bangunan mencapai Rp 1,2 miliar. Melalui alat-alat tersebut, baru Kelompok Sadaya Masyarakat (KSM) yang mengelola sampah akan mendapatkan penghasilan.
"Sumber penghasilan KSM itu dari penjualan sampah high value, seperti plastik, kresek, plastik kemasan, botol plastik. Dengan pemasukan 8 truk sampah per hari, di Banyumas mereka mendapatkan penghasilan Rp 30 juta per bulan," katanya.
Jika ingin menambah nilai lagi, menurut Husein bisa ditambah alat lagi, yakni Hot Extruder dan Mesin Hidrolik. Alat tersebut berguna untuk menghasilkan plastik cair dan mencetaknya menjadi berbagai produk. Sedangkan sampah yang tidak bisa dimanfaatkan bisa dibakar dengan alat pirolisis yang sudah sesuai ketentuan.
Terkait dengan lahan hanggar, tidak harus menggunakan lahan Pemda. Seperti yang terjadi di Banyumas, hanggar justru dibangun di lahan milik desa termasuk pengelolaan sampahnya dilakukan oleh KSM dari BUMDes.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Purbalingga, Priyo Satmoko mengungkapkan Pemkab Purbalingga berkomitmen mengadopsi sistim pengelolaan sampah yang diterapkan di Banyumas.
"Kami sebenarnya sudah merintis sistim ini hanya saja kami belum memiliki peralatan secanggih yang dimiliki Banyumas," katanya.
Langkah awal yang sudah dilakukan yakni pemetaan mengenai wilayah dan volume sampah yang dihasilkan. Hasil pemetaan menunjukan, dibutuhkan 4 lokasi PDU/TPST untuk melayani pengolahan sampah di Purbalingga.
"Rencananya di Kecamatan Bobotsari, Rembang, Bukateja dan Purbalingga. Di Kecamatan Purbalingga tentu ada prioritas tersendiri yang hanya akan melayani satu kecamatan karena volume sampahnya paling banyak," katanya
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait