Melihat pertumbuhan ekonomi yang meningkat diiringi dengan kadar polutan yang turut mengalami peningkatan, kita tentu dapat menarik kesimpulan bahwa perekonomian kita ditenagai oleh sumber-sumber energi yang tidak ramah lingkungan dan mencemari udara.
Tentu pertumbuhan ekonomi yang demikian ini dapat dikatakan tidak sehat dan tidak mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable. Bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi yang memiliki efek samping merusak lingkungan ini akan menjadi bom waktu bagi Indonesia.
Bagaikan mengisikan mesiu ke dalam peledak, polusi lingkungan yang terus menerus muncul di setiap aktivitas ekonomi akan memunculkan berbagai masalah baru seperti penyakit pernafasan, penyakit pencernaan, bahkan dapat mempengaruhi kualitas produk pertanian yang menyumbangkan setidaknya 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional.
Masalah ini tentu tidak hanya terjadi di dalam negeri namun juga disadari oleh berbagai negara di dunia. Cerminan dari kesadaran tersebut selanjutnya terwujud dalam tujuan-tujuan yang dirangkum dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan 17 tujuan mulia umat manusia dan disepakati oleh 193 pemimpin negara anggota PBB pada tahun 2015.
Di antara 17 goals tersebut, sebanyak 8 goals yang berkaitan langsung dengan kelestarian lingkungan. Ini menandakan bahwa kelestarian dan kesehatan lingkungan memiliki peranan penting untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.
Berbicara spesifik tentang tantangan apa yang sesungguhnya dihadapi negara ini, tentu tidak lepas dari karakter masyarakat yang sampai saat ini jatuh cinta dan dibuat ketagihan oleh bahan bakar fosil atau kita sebut minyak bumi.
Kita semua tahu bahwa minyak bumi dan olahannya atau Bahan Bakar Minyak (BBM) memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Kandungan rantai C (karbon) yang tinggi seringkali bereaksi tidak sempurna dalam proses pembakaran sehingga membentuk gas-gas yang bersifat racun bagi lingkungan.
Tidak berhenti di situ, kandungan sulfur dalam BBM juga turut memperparah dampak negatif yang ditimbulkannya. Fakta tentang betapa merusaknya BBM ini bukan tidak diketahui oleh banyak orang. Namun dalam praktik sehari-hari, penggunaan BBM terus tumbuh dan melampaui batas kemampuan produksi dalam negeri.
Fenomena ini lantas membawa bumi pertiwi kita keluar dari OPEC pada tahun 2003. Begitupun pada masa-masa setelahnya sampai dengan saat ini, kita menyandang predikat negara net importir BBM.
Bukan di luar prediksi bahwa permintaan BBM yang melesat di Tanah Air saat ini juga didorong akibat pola konsumsi masyarakat yang gemar menggunakan kendaraan pribadi alih-alih naik kendaraan umum seolah kecanduan terhadap kenikmatan raungan mesin yang dikendalikannya.
Untuk menjawab permasalahan kekurangan pasokan BBM dan persoalan pencemaran lingkungan, sudah saatnya kita menilik berbagai alternatif energi yang ketersediaannya melimpah di negeri ini.
Negeri yang subur dan selalu nampak hijau dari ketinggian ini tentu melimpah akan vegetasi dan tumbuhan hijau yang dapat dengan mudah tumbuh subur di seluruh penjuru negeri.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait