CILACAP, iNewsPurwokerto.id - Binar mentari mengintip malu dari sela-sela daun pelepah kalapa usai tertutup kabut tipis yang mulai memudar, cahayanya apik saat menebus bumi, ditambah suara burung pipit sekitar sawah ramai bersahutan. Udara begitu segar pagi itu di Desa Karangsari, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, langkah pasti para petani disibukkan untuk menggarap sawah, tak terkecuali petani penderes atau penyadap nira kelapa.
Petani Penderes sebutan bagi para penyayat 'manggar' bunga pohon kelapa yang mengeluarkan air nira merupakan kaum marjinal yang kerap terpinggirkan. Kehidupannya selalu dimanfaatkan oleh para tengkulak gula kelapa untuk menghasilkan pundi-pundi uang dari keringat mereka.
Hidup mereka selalu dibayangi akan rasa was-was kematian atau cacat seumur hidup. Maklum saja, kehidupan mereka dalam lingkaran industri gula kelapa sangatlah penting. Petani Penderes adalah orang-orang yang setiap harinya harus naik turun pohon kelapa setinggi kurang lebih 15-40 meter, menyayat manggar dan menampung air nira yang keluar dari sayatan bunga kelapa, untuk kemudian diolah menjadi gula-gula cetak atau gula Jawa bahan tambahan masakan dalam rumah tangga.
Potensi terjatuh dari pohon kelapa sangatlah tinggi, setiap hari petani penderes di Desa Karangsari harus memanjat sekitar 15-22 pohon kelapa, entah dalam kondisi angin kencang, ataupun licinnya pohon kelapa setelah hujan turun. Semua harus mereka lakukan, demi menghasilkan pendapatan hidup dari setiap tetes air nira yang mereka kumpulkan.
Seperti Asim Muhammad Nurudin (52) warga Desa Karangsari, Kecamatan Adipala yang setiap harinya, pada pagi pukul 08.00 WIB harus naik turun pohon kelapa. Langkahnya pasti menuju satu dari 22 pohon kelapa yang terlihat tinggi menjulang ke angkasa. Tapak kakinya satu persatu menginjak 'tataran' sebutan pijakan kaki di pohon kelapa yang dibuat untuk dapat naik ke atas pelepah pohon kelapa.
Setiap kali memanjat, ia harus membawa beberapa 'pongkor' atau wadah ramah lingkungan yang telah diisi 'laru' berbahan rendaman kulit manggis dan kapur sebagai bahan pengawet alami, lalu sebilah 'kudi' semacam pisau khas Banyumasan. Sesampainya di atas pelepah pohon kelapa, ia harus menjaga keseimbangannya dan mengambil pongkor yang telah ia pasang pagi kemarin dan menggantinya dengan pongkor yang ia bawa dari bawah.
Agar air nira keluar, "kudi" yang ia bawa digunakan untuk menyayat bunga manggar, ketika tetes demi tetes keluar, lantas pongkor yang ia bawa dipasang dan ia tinggal untuk ia ambil keesokan paginya.
Naik dan turun pohon ini ia lakukan setiap harinya selama puluhan tahun dengan puluhan pohon. Sebelum mendapatkan pendampingan dari PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos, Cilacap, Asim dan banyak penderes lain di Desa Karangsari menggunakan sulfit, pengawet berbahan kimia, agar gula yang dihasilkan menjadi cerah, menarik dan tidak gagal ketika dicetak nantinya.
"Dulu kayak gini, kalau sebagai penderes kan yang jelas itu nggak bisa jual ke luar, jadi dijualnya itu kepengepul, dan juga menggunakan bahan-bahan kimia, sebelumnya ada kelompok seperti itu. Jadi permintaan buyer atau pengepul biasanya gula yang ngenjreng cerah, ini harus pakai ini (bahan kimia)," ucap Asim yang dipercaya sebagai Ketua Kelompok Pendekar binaan PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos saat berbincang dengan iNews Purwokerto beberapa waktu lalu.
Bahkan penggunaan sulfit ketika itu sempat membuat banyak penderes yang tidak berani mengkonsumsi air nira langsung dari pongkor ketika kehausan saat berada di atas pohon kelapa. Karena mereka sadar bahaya penggunaan sulfit dalam jumlah banyak pada bahan makanan. Hingga akhirnya mereka beralih menggunakan laru alami yang aman bagi kesehatan.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait