Meraih Asa dari Setetes Nira Kelapa

Arbi Anugrah
Asim sedang menderes air nira di pohon kelapa dengan menggunakan alat keselamatan. (Foto: Arbi Anugrah)

Beruntungnya, Asim selalu menjaga hubungan baik dengan para pengepul gula kelapa di desanya, sehingga ketika berdirinya kelompok ini, tidak menimbulkan perselisihan antara kelompoknya dan para pengepul yang selama ini mendapatkan gula dari para petani penderes. Bahkan, ia malah merangkul para pengepul yang memiliki sejumlah petani namun belum tergabung dalam kelompok untuk bekerja sama membuat gula organik yang nantinya dibeli oleh kelompoknya.


Petani sedang menghaluskan air nira yang telah diolah menjadi gula semut organik. Produk gula semut diekspor ke luar negeri. (Foto: Arbi Anugrah)

"Gula semut itu masing-masing, jadi tidak menentu setiap orangnya. Kalau saya itu kalau rata-rata itu 10 kilogram, 1 hari. Ada yang 5 kilogram, ada yang 7 kilogram. Dalam sebulan sekitar 1 ton, kalau satu minggu 3 kuintal. 1 ton dari hanya 30 persen penderes dan gula-gula yang diberikan dari pengepul," ucapnya.

Gula semut tersebut oleh kelompok nantinya akan dijual ke buyer yang mencari, adapula yang dijual di toko komunal hasil bantuan Pertamina dengan dibuat kemasan-kemasan 250 gram beragam varian rasa, baik rasa gula original, jahe, kunyit ataupun temulawak. Bahkan, kelompoknya juga terus berinovasi memanfaatkan air nira kelapa untuk diolah menjadi berbagai jenis produk inovatif lainnya.

"Alhamdulilah kalau menurut saya memang sudah bagus penjualannya dan nilai harganya, dibandingkan dengan tahun-tahun saat gula cetak," imbuhnya.

Meski demikian, Asim membandingkan antara gula cetak dan gula semut yang dibeli kelompoknya dengan para pengepul sangat jauh berbeda, di mana harga gula cetak di tingkat petani dibeli oleh pengepul dengan harga Rp15 ribu, sedangkan gula cetak dari anggota kelompoknya dibeli dengan harga Rp19 ribu. Sementara untuk gula semut dibeli seharga Rp22 ribu per kilo tingkat petani, lalu kelompok akan jual lagi ke bayer menjadi Rp23 ribu. Bahkan, keuntungan dari hasil penjualan gula dari kelompoknya akan diberikan kembali kepada para penderes saat akhir tahun atau ketika datang Hari Raya Idul Fitri sebagai uang tunjangan hari raya (THR).

Meski kelompoknya telah memiliki sertifikat organik dari Internasional Control Union untuk mengontrol kualitas dari gula semut tersebut, namun Asim mengaku jika kelompoknya belum bisa melakukan ekspor secara mandiri. Sebab, selain tingginya permintaan pasar, kelompoknya belum mampu untuk memenuhi kuota permintaan pasar meskipun melakukan kerjasama dengan para kelompok-kelompok tani gula. 

"Kalau berbicara ekspor itu susah banget, sebab kalau ekspor itu pasti sudah ada kontrak dalam satu bulan harus sekian (jumlah ton), dan kalau cuma di Desa Karangsari sama sekali belum mencukupi, walaupun sudah kerjasama dengan kelompok manapun tidak cukup, disamping itu juga dananya itu sangat besar sekali," jelasnya.

Meski demikian, Asim sangat bersyukur dengan hadirnya Pertamina dapat mengubah masyarakat petani penderes untuk lebih maju dan berkembang bersama. Selain itu, penderes gula kelapa memiliki tingkat resiko yang tinggi akan kematian atau cacat seumur hidup akibat terjatuh dari pohon kelapa saat bekerja karena cuaca atau kelelahan saat berada di atas pohon kelapa. Untuk menjaga keselamatan para penderes gula kelapa, Pertamina juga memberikan alat keselamatan berupa sabuk pengaman.

Alat keamanan ini berupa body harness layaknya alat keamanan dalam sebuah proyek, lengkap dengan tambang serta pengait yang dapat dilingkarkan di pohon kelapa saat petani penderes naik ke atas pohon. Alat ini dapat bekerja mengamankan nyawa petani ketika tiba-tiba mereka terpeleset dari pohon. Meski alat kemanan ini dianggap bagi sebagian petani penderes merepotkan, karena harus melingkarkan tali ke pohon, namun Asim mengaku jika dirinya akan berusaha berjuang untuk terus mengingatkan para penderes agar mau menggunakan alat ini sebagai pengaman awal sebelum terjadi.

Selain sabuk pengaman, menurut Asim, PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos juga memfasilitasi sebuah alat yang dapat memberikan peringatan kepada para petani pederes jika akan ada angin besar yang datang. Alat bernama drupadi ini merupakan alat sederhana dengan kincir kecil pada bagian atas, layaknya alat pemantauan milik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hanya saja alat ini dilengkapi alarm yang dapat berbunyi jika terdapat angin yang terlampau besar, tujuannya agar para penderes tidak naik saat angin tersebut terjadi.

"Penderes itu tingkat keselamatannya sudah difasilitasi oleh Pertamina, kayak pakai sabuk pengaman, juga terus ada tanda-tanda yaitu yang untuk mendeteksi angin namanya Drupadi. Itu kalau ada angin yang kencang bunyi, jadi penderes diminta untuk berhenti dulu, saat ada tanda-tanda peringatan," ujar Asim yang juga melakukan penanaman pohon kelapa genjah dengan ukuran lebih rendah dari pohon kelapa pada umumnya untuk mengurangi resiko petani penderes terjatuh saat bekerja.

Ia juga menuturkan, jika profesi penderes gula kelapa selama ini masih dianggap sebelah mata, khususnya bagi generasi muda, sehingga sulit untuk regenerasi. Selain memiliki tingkat resiko yang tinggi, para pemuda juga lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik atau perusahaan dibandingkan bekerja sebagai penderes gula kelapa. Padahal jika dibandingkan, penghasilan menjadi penderes saat ini tidak jauh berbeda.

Editor : EldeJoyosemito

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4 5

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network