Aktivis lingkungan dari Serayu Network, Maman Fansha, mengungkapkan bahwa praktik perambahan dan alih fungsi hutan untuk pertanian, terutama tanaman sayuran, telah merusak sekitar 690 hektare kawasan hutan di Banjarnegara.
"Kondisinya sudah di tahap mengkhawatirkan. Perambahan tidak hanya merusak ekosistem hutan, tapi juga berdampak langsung ke masyarakat," ujar Maman, Rabu (31/7).
Ia menjelaskan, hutan yang gundul tidak lagi mampu menyerap air hujan secara optimal. Dampaknya, air melimpas deras membawa lumpur, menyebabkan banjir, kerusakan jalan, hingga mengancam permukiman warga di bawahnya.
Berdasarkan pemantauan relawan Serayu Network, kerusakan hutan paling parah terjadi di lima desa, yakni Desa Balun 212 hektare, Wanaraja 197 hektare, Jatilawang 143 hektare, Tempuran 129 hektare, dan Wanayasa 8,8 hektare.
Salah satu dampak nyata dari kerusakan ini adalah penurunan drastis kapasitas tampung Bendungan Mrica, yang terletak di hilir.
“Airnya sekarang tinggal 10 persen, sisanya lumpur. Kalau dibiarkan, lumpur ini bisa terbawa sampai ke wilayah Banyumas,” tegas Maman.
Maman juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap hutan milik negara yang dikelola oleh Perhutani. Ia menyayangkan belum adanya tindakan tegas atas perambahan yang sudah berlangsung cukup lama.
"Kami temukan lahan-lahan itu berubah fungsi dan tidak dijaga. Seharusnya ada penindakan karena ini menyangkut keberlanjutan lingkungan hidup," ucapnya.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait