CILACAP, iNewsPurwokerto.id - Pagi itu, sinar matahari mulai tampak menunjukkan keperkasaannya. Panas jelang siang, sebuah kapal compreng dengan suara bising mesinnya melintasi sungai Bengawan Donan dari barat Kota Cilacap menuju Kelurahan Kutawaru, salah satu wilayah di Kabupaten Cilacap yang terpisahkan oleh segara.
Di sepanjang tepian laut wilayah Kelurahan Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah, Jawa Tengah, hamparan hijau pohon mangrove menjadi benteng alami yang menahan gempuran ombak dan abrasi. Hutan mangrove di kawasan tersebut kini menjadi rumah bagi ratusan jenis satwa yang menggantungkan hidupnya dari kelestarian lingkungan di wilayah itu.
Tapi siapa sangka, di balik rindangnya pohon-pohon bakau tersebut, terdapat kisah panjang perjuangan salah satu kelompok masyarakat. Mereka menolak pasrah pada kerusakan lingkungan di pesisir pantai selatan Jawa Tengah.
Kelompok tersebut adalah Kelompok Sida Asih, bukan sekadar komunitas tani atau nelayan biasa. Kelompok yang telah berdiri sejak tahun 2016, kini sudah menjelma menjadi gerakan akar rumput yang berfokus pada upaya konservasi mangrove, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat yang ada di pesisir Kelurahan Kutawaru.
Di bawah kepemimpinan Naswan (56), kelompok yang awalnya mengelola lahan konservasi seluas 2 hektare di kawasan wisata Simanja (Konservasi Mangrove Jagapati) dengan hanya sembilan anggota, kini telah berkembang menjadi 32 anggota, terdiri atas 15 laki-laki dan 17 perempuan. Bahkan lahan konservasi mangrove yang dikelola juga semakin meningkat menjadi 45 hektare.
Meski demikian, semua itu tak terjadi dalam semalam. Kisah perjalanan konservasi mangrove di Kutawaru berawal dari niat tulus seorang pria bernama Kartosarian, ayah dari Naswan, yang mulai menanam mangrove pada awal tahun 2000-an. Di mana kala itu, kawasan pesisir Kutawaru nyaris gundul. Bahkan penebangan liar terus terjadi di kawasan tersebit sedikit demi sedikit.
“Bapak saya menanam mangrove di lahan dua hektare tanpa ada yang bayar, tanpa ada yang perintah. Beliau merasa tergugah dari tanah ini (karena) sangat gundul untuk menjaga abrasi,” kenang Naswan, Ketua Kelompok Sida Asih, ketika ditemui iNews Purwokerto di area konservasi Simanja beberapa waktu lalu.
Semangat Kartosarian tak berhenti di situ. Setelah ia wafat, perjuangannya itupun diteruskan oleh sang anak. Pada 2016, Naswan bersama delapan warga lainnya membentuk Kelompok Sida Asih, yang kemudian berkembang pesat hingga kini. Meski awalnya hanya lima anggota yang aktif, namun berkat pendampingan dari berbagai pihak, termasuk PT Pertamina Patra Niaga Integrated Terminal Cilacap dan Yayasan Rekam Jejak, kelompok ini akhirnya terus berkembang dan menjadi kelompok percontohan konservasi di pesisir selatan Jawa.
Program konservasi dari Kelompok Sida Asih tak hanya menyelamatkan ekosistem laut, tapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat sekitar. Melalui konsep silvofishery, mereka menggabungkan budidaya ikan, udang dan kepiting dengan pelestarian hutan mangrove.
Melalui konsep silvofishery, mereka menggabungkan budidaya ikan, udang dan kepiting dengan pelestarian hutan mangrove. Foto: Arbi Anugrah/iNewsPurwokerto
“Kami membudidayakan ikan kakap merah, kerapu, nila, hingga udang windu dan kepiting. Ibu-ibu di sini juga memanfaatkan buah mangrove untuk diolah menjadi tepung, sirup, bahkan kue dan camilan,” jelas Naswan sambil menunjukkan hasil olahan kelompoknya.
Produk tersebut kini menjadi bagian dari ekowisata Simanja, yang juga menawarkan aktivitas susur sungai bagi wisatawan. Selain memberi tambahan pendapatan, kegiatan ini turut memperkenalkan pentingnya mangrove bagi keseimbangan ekosistem.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait
