Simatupang menyebut masa perjuangan kemerdekaan sebagai “loncatan pertama” dan itu sudah terlewati. Simatupang kemudian menyusun konsep memfungsikan ABRI sebagai dinamisator pembangunan di masa damai. Simatupang menyebut pemikiran ini sebagai “loncatan kedua”. Konsep inilah yang kemudian diperkenalkan AH Nasution sebagai Dwi Fungsi ABRI.
Usaha rasionalisasi dan profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang yang bertujuan untuk meningkatkan mutu tentara, mendapat kritik dari para politisi. Pemikiran ini pun berbeda pandangan dengan Bung Karno.
Perselisihan ini berawal dari peristiwa 17 Oktober 1952, ketika tentara menghadapkan moncong meriam ke Istana dan meminta Presiden membubarkan Parlemen. Aksi yang dilakukan oleh Nasution dan kawan-kawan ini membuat Simatupang dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut.
Simatupang bisa jadi merupakan salah satu nama yang tidak disukai oleh Presiden Sukarno hingga akhir dia menjabat. Ditengarai peristiwa itu membuat Sang Proklamator marah besar kepada TB Simatupang.
Melansir buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, ini lantaran TB Simatupang menolak memenuhi permintaan Sukarno untuk memecat Kolonel AH Nasution yang pada Juli 1952 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). TB Simatupang menilai itu akan jadi preseden buruk di masa depan jika seorang Presiden bisa seenaknya memecat atau mengangkat seseorang di tubuh militer.
Perbedaan pendapat yang tajam antara Simatupang dan Bung Karno berakhir pencoptan dirinya dan dengan dihapuskannya jabatan KSAP pada 1954. Dia lalu ditunjuk sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Sebelum menjadi Penasihat Militer, Simatupang ditawari jabatan sebagai Duta Besar namun ditolaknya.
Simatupang memanfaatkan waktunya selama lima tahun, sebelum ia mengundurkan diri dari dinas militer untuk mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan Akademi Hukum Militer. Materi pengajaran yang ia berikan di kedua sekolah tersebut, kemudian ia tulis kembali menjadi buku dengan berjudul Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981).
Pada 21 Juli 1959, Simatupang mengundurkan diri dari dinas kemiliteran dan sejak itu ia aktif dalam aktifitas keagamaan. Dia kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Gereja Indonesia. Dia juga pernah mengetuai Dewan Gereja se-Asia dan Dewa Gereja se-Dunia.
Selain aktif di bidang keagamaan, Simatupang juga aktif dalam Bidang Pendidikan, ketika Dr AM Kadarman SJ melontarkan gagasan mendirikan sebuah sekolah manajemen bagi generasi muda Indonesia, Simatupang mendukung ide tersebut dan kemudia ide itu diwujudkan dengan didirikannya Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (YPPM) pada 3 Juli 1967.
Yayasan ini didirikan bersama dengan tokoh-tokoh lain, misalnya untuk dewan pendiri ada Profesor Bahder Djohan mewakili golongan Islam, Dr AM Tambunan mewakili golong Kristen dan IJ Kasimo mewakili golongan Katolik. Simatupang sendiri kemudian menjabat sebagai Ketua Yayasan yang membawahi Institut Pendidikan dan Pembinaaan Manajemen (IPPM).
Selain aktif di bidang pendidikan dan agama, Simatupang juga aktif di media massa. Simatupang menjadi Dewan Redaksi Koran Sinar Harapan yang diterbitkan PT Sinar Kasih. Simatupang masuk Dewan Redaksi sejak didirikannya hingga pembredelan Sinar Harapan pada Oktober 1986. Tajuk rencana yang ditulisnya sering mendapat penghargaan Adinegoro.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta