Untuk memancing kembali pertumbuhan ekonomi di Nauru, pemerintah setuju membuka pusat penampungan pencari suaka hasil kerja sama dengan Australia pada tahun 2012. Negeri Kanguru itu mau membayar Nauru sebesar 312 juta dolar per tahun untuk menjalankan pusat penahanan pencari suaka. Penghasilan dari penanganan pengungsi yang diterima Nauru sama saja dua per tiga PDB negara tersebut.
Di satu sisi, sistem kerja sama itu juga mampu meningkatkan pendapatan keluarga di Nauru. Tapi di lain sisi, negara itu kini menghadapi kecaman buruk, karena kondisi kehidupan para pengungsi yang memprihatinkan.
Akhirnya, kini dibuat kesepakatan baru untuk memindahkan kelompok-kelompok pengungsi rentan ke Kamboja dan Amerika Serikat. Sejak saat itu pendapatan Nauru dari penampungan pencari suaka terus jauh berkurang.
Kondisi negara kaya raya itu terjun bebas, hingga membuat prihatin seorang pendeta Gereja Jemaat Nauru, James Aingimea. Dalam wawancara dengan surat kabar The New York Times dia membayangkan jika saja fosfat saat itu tak ditemukan di negaranya.
“Saya berharap kita tidak pernah menemukan fosfat tersebut. Masih kecil saya sangat indah. Sekarang saya melihat apa yang telah terjadi di sini dan saya ingin menangis," ujarnya.
Eksploitasi sumber daya alam Nauru yang tanpa didahului dengan analisis terhadap dampak lingkungan serta diversifikasi ekonomi membawa negara itu pada keterpurukan atau kutukan.
Sekilas, Nauru dahulunya terlihat seperti surga yang terhampar di Pasifik, namun kini gara-gara penambangan fosfat secara besar-besaran, kondisinya berubah seperti penampakan Bulan. Bahkan daratannya pun penuh dengan batu kapur dan tidak cocok untuk ditanami tumbuhan, hingga mendirikan bangunan.
Editor : Arbi Anugrah