get app
inews
Aa Text
Read Next : Safari See To Sky dan Massapi Cafe, Kafe Asyik di Bawah Naungan Hutan Tropis Baturraden

Sejarah Terowongan Air Gunung Slamet Demi Kehidupan Warga 6 Desa

Rabu, 16 Februari 2022 | 05:30 WIB
header img
Sejarah Terowongan Air Gunung Slamet (Foto : Aryo Rizqi/iNews Purwokerto)

BANYUMAS, iNews.id - Terowongan air Tirtapala telah menghidupi warga di enam desa di Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah. Kedua penjaga saluran air tersebut adalah Kusnanto (60) dan Agus Salim (48) yang meneruskan perjuangan Sanbasri, tokoh di Desa Kalisalak, Kecamatan Kedungbanteng yang memiliki ide pembuatan terowongan air tersebut.

Dengan menembus bukit, air dari sungai Logawa akhirnya dapat tersalurkan ke enam desa yang sebelumnya tidak teraliri air. Bukan tanpa tantangan, terowongan sepanjang 550 meter itu penuh resiko bagi kedua penjaga saluran air.

Berbekal sepatu boot, golok dan lampu penerangan yang melekat di kepala, mereka pun berjalan menerobos gelapnya lorong yang dipenuhi dengan suara gemricik air. Semua itu dilakukan untuk menjaga sumber penghidupan bagi warga di enam desa yang tinggal di kaki Gunung Slamet.

Bahkan  selain gelap dan menjadi sarang kelelawar, pekerjaan mereka juga penuh dengan risiko, bahkan bertaruh nyawa. Pasalnya, terowongan air dengan tinggi sekitar dua meter dan lebar 80 centimeter ini berpotensi longsor serta derasnya arus tak ayal juga dapat menyeret mereka.


Air mengalir dengan cara digali manual. (Foto: Aryo Rizqi/iNews Purwokerto)

Sejarah panjang pembangunan terowongan saluran air itu tak lepas dari seorang tokoh yang namanya diabadikan menjadi nama terowongan tersebut, yakni Sanbasri. Namanya diabadikan karena ditengarai ialah sosok yang memiliki ide untuk membangun terowongan saluran air hingga dapat dinikmati warga desa. 

Bersama dengan tujuh orang lainnya, yakni Tadirana, Sadirana, Sanwiraji, Sumardi, Ngalireja, Lurah Darwan (lurah pertama Desa Kalisalak), dan Sanbesari, delapan orang itu berpikir bagaimana caranya agar kebutuhan air desa mereka dapat terpenuhi karena selama ini desa mereka hanya mengandalkan air tadah hujan.

Delapan orang penggagas terowongan air tersebut diketahui berasal dari tiga desa sekitar Desa Kalisalak. Mereka juga dibantu 15 orang lain yang bergantian selama 24 jam. Selama proses pengerjaan terowongan itu, delapan orang ini memiliki tugas berdasarkan kemampuannya masing-masing, di antaranya, mulai dari bagian mendesain terowongan, koordinasi lapangan, bagian keuangan, hingga bagian metafisika yang memindahkan makhluk makhluk halus di sekitar lokasi terowongan.

Husendri (47), cucu Sanbasri menceritakan kisah pembangunan terowongan saluran air tersebut berdasarkan beberapa cerita yang didapatnya dari orangtuanya maupun dari kakeknya sendiri yang telah meninggal pada 2013 lalu.

"Aliran Sungai Logawa itu alirannya besar, tapi sini kekurangan air, jadi mungkin (kakek saya) akhirnya berupaya bagaimana caranya air itu bisa masuk atau bisa ngalir ke desa. Dulu, di sini rata-rata petani padi, tapi tadah hujan, panen hanya setahun sekali," kata Husendri.

Sejak saat itu, Sanbasri mulai berkoordinasi dengan lurah pertama di Desa Kalisalak. Bersama dengan kawan-kawannya, Sanbasri mulai merancang terowongan saluran air hingga akhirnya rencana mereka terwujud. Cerita sejarah tentang asal mula dibangunnya terowongan Tirtapala itu sudah seperti layaknya dongeng yang diceritakan oleh para orang tua di desa tersebut secara lisan turun-temurun.

"Cuma tahu pertama itu tahun 1949 selesai 1956, itu ceritanya. Lalu, dikerjakan siang malam selama 24 jam, mereka membangun terowongan sampai 1 minggu dan baru pulang ke rumah, mereka nginep di hutan. Jadi selama 24 jam bergilir, ada yang masuk ke dalam mahat batu, terus nanti gantian sama yang lain sambil membuat api unggun untuk menghangatkan badan orang yang habis dari dalam terowongan," ujarnya.

Menurut mendiang kakeknya, hal yang paling sulit dilakukan adalah ketika mendapati batu alam yang ada di dalam terowongan. Dengan peralatan ala kadarnya, mereka berusaha menembus bebatuan andesit lereng Gunung Slamet.

"Titik paling sulit itu ketika menemukan batu alam yang ada di dalam tanah, itu harus melewati itu, berati harus dialihkan, misal sudah pas ke arah sini tapi ada batu alam dan tidak bisa ditembus pakai pahat, karena hampir 50 persen batu semua, cuma bentuknya itu batuan andesit itu bisa dipahat, tapi dibagian dalamnya lagi ada batu solid dan itu paling keras, yang itu tidak bisa dipahat itu, maka bergeser ke bawah atau menyamping, akhirnya, ada cekungan di situ, harus penyelaman," jelasnya.

Terowongan yang dibangun selama kurang lebih 5 tahun ini akhirnya selesai penggarapannya. Air pun dapat mengalir ke desa desa, sehingga sawah sawah penduduk desa dapat teraliri air.


Penjaga terowongan saluran air. (Foto: Aryo Rizqi/iNews Purwokerto)

"Alhamdulillah setelah ada aliran air, walau kemarau sampai enam bulan, air tetap mengalir. Dulu padahal tadah hujan, pertanian, sawah tanam padi setahun sekali. Setelah air masuk, pertanian di masyarakat berubah drastis, bisa dua kali setahun dan produksi padi melimpah, termasuk bisa buat kolam-kolam ikan," ungkapnya.

Sementara itu, menurut Tri Agus Triono, Ketua Paguyuban Pelestari Terowongan Air Tirtapala mengatakan bahwa pihaknya tengah melakukan pendokumentasian ulang terkait terowongan saluran air yang telah digagas sejak tahun 1949 dan mulai dibuat tahun 1952. Berkat kerja keras 8 orang dibantu dengan sejumlah warga sekitar, akhirnya terowongan terebut selesai dibuat pada tahun 1956. 

Dalam catatan masa itu, disebutkan bahwa Sanbasri menjadi penanggungjawab atas pekerjaan ini. Selain itu, disebutkan juga bahwa insinyur yang merancang terowongan itu bernama Tadirana. Ialah yang telah mendesain terowongan termasuk di dalamnya jendela terowongan dan beberapa desain lain di dalamnya.

"Jadi, berdasarkan catatan yang sudah rusak, 1949 digagas oleh Sanbasri, dua tahun pertama masa negosiasi hingga akhirnya disetujui oleh pihak desa pada tahun 1952 dan dikerjakan sejak tahun 1952 hingga 1956. Selama 5 tahun dikerjakan secara manual, menggunakan alat penerangan teplok, ting dan obor, kemudian menggunakan alat tradisional seperti dandang lalu ruyung atau Sada Lanang, itu perkakas seperti linggis yang terbuat dari pelepah nira," kata Tri.

Bahkan, di dalam arsip lama yang kini telah rusak itu disebutkan juga bahwa Sanbasri memperoleh penghargaan dari Pemerintah masa itu sebagai perintis lingkungan. Sayangnya, dokumen tersebut kini harus direstorasi sedemikian rupa setelah hampir 70 tahun tak terjamah.


Terowongan air. (Foto: Aryo Rizqi/iNews Purwokerto)

Berdasarkan dokumen yang ditemukan dan bukti fisik berupa terowongan saluran air Tirtapala, kita dibuat tercengang oleh mahakarya yang bisa tercipta pada masa itu. Bagaimana tidak, terowongan sepanjang 550 meter itu dibuat sedemikian rupa mengikuti kontur gunung dan terlebih lagi, kala itu pembuatannya hanya menggunakan peralatan sederhana. 

"550 meter terowongan dibuat, mengikuti kontur gunung, dan bebatuan andesit, dijebol dari dua arah atas dan bawah, memang tidak masuk akal. Tetapi, ada yang hebat lagi, di sepanjang itu ada jendela jendela yang berfungsi sebagai ventilasi terowongan, dan mereka sudah menghitung pada saat itu, jelas ini untuk bernafas," ujar Yono. 

"Yang kedua adalah untuk membuang tanah dan bebatuan atau sedimen dari dalam terowongan, karena tidak mungkin akan dibuang di ujung terowongan. Jendela -jendela itu ada yang 10 meter ada yang 15 meter dan ada yang 20 meter jaraknya melihat kontur dan melihat tingkat kesulitan juga saat ada di dalam terowongan entah itu lurus atau belok belok. Jadi, si Tadirana ini sudah sangat menghitung itu," imbuhnya.

Lalu, selama dua tahun pertama sejak 1948, mereka coba menghitung titik air yang sama dengan kontur Desa. Pasalnya, ketinggian Curug Gomblang yang airnya mengalir dari Sungai Logawa tingginya tidak sama. Akhirnya, mereka pun mencari alternatif lain agar air itu bisa sampai ke desa.

"Bagaimana mereka menemukan titik air yang sama dengan desa, saat itu belum ada peralatan mendukung seperti GPS, tapi mereka bisa menentukan titik airnya sampai ke desa. Titik airnya itu sekitar 400 meter di atas Curug, jadi langsung mengambil dari aliran Sungai Logawa. Karena kalau mengandalkan Curug tidak bisa, posisi elevasinya di bawah desa," ucapnya.

"Makanya, kontur terowongannya tidak begitu curam tapi airnya mengalir, persis seperti irigasi. Landai tidak curam, itu hebatnya mereka menentukan titik awal sumber air sampai sama tinggi dengan sawah di desa," lanjut Tri.

Saat ini, upaya yang harus dilakukan untuk menjaga terowongan saluran air tersebut dapat berfungsi dengan baik adalah konservasi. Diketahui bahwa kini, tingginya tingkat sedimentasi yang relative tinggi berdampak pada aliran air yang masuk ke desa.

Permasalahan tidak berhenti pada sedimentasi saja, perlu juga dibuat pintu air di bagian hulu. Pintu air ini berguna untuk mengatur debit air usai sedimentasi diangkat. Dengan adanya pintu air ini, para penjaga terowongan juga menjadi tak perlu was-was bila sewaktu-waktu debit air meningkat.

 

Editor : Arbi Anugrah

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut