Mereka yang ingin berpuasa harus mendaftar terlebih dahulu. Hal ini diharuskan agar mencegah kesalahpahaman tentang kebijakan agama dari Partai (Komunis China) dimana orang tua dan orang dewasa tanpa anak usia sekolah yang hanya diperbolehkan untuk berpuasa.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) meminta negara lain khususnya Indonesia, untuk mendesak pihak berwenang China agar mencabut pembatasan tersebut dan memperbolehkan Muslim Uighur untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
“Dalam konteks hak asasi manusia, jaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat di dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. China ga boleh larang orang beribadah,” kata peneliti senior Centris, AB Solissa kepada wartawan, Senin (4/3/2022).
Dalam laporan tersebut, sistem dan kegiatan ini dibuat dengan dalih menghindari agama dalam memberikan efek negatif kepada pikiran anak-anak.
“Jika laporan RFA itu benar, China artinya telah melanggar Pasal 18 yang mengatur hak atas kebebasan beragama yakni hak untuk pindah agama dan hak memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan melaksanakan ibadah,” tutur AB Solissa.
Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) Uighur akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi pada kamis (31/3) setelah mengetahui kondisi memprihatinkan Uighur di Xinjiang. Pernyataan tersebut berbunyi
“Tidak akan ada Ramadan untuk Uighur di tanah air tahun ini atau tahun apa pun sampai kampanye genosida China diakhiri,”tulis pertanyaan tersebut.
Komite Urusan Agama di Kongres Uyghur Dunia (WUC) di Jerman juga menyampaikan hal serupa. Presiden WUC Dolkun Isa, menyatakan bahwa China telah mengubah Ramadhan menjadi bulan penderitaan bagi Muslim Uighur serta meminta pemimpin Muslim di dunia untuk ikut memberi kritik terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta