Kedua, mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah)
Mereka memberikan ukuran mampu untuk zakat fitrah, selama dia memiliki sisa makanan untuk dirinya dan keluarganya pada malam hari raya dan besok paginya. Karena dalam islam, orang dalam keadaan semacam ini telah dianggap mampu.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ مَسْأَلَةً عَنْ ظَهْرِ غِنًى اسْتَكْثَرَ بِهَا مِنْ رَضْفِ جَهَنَّمَ
“Barangsiapa yang meminta sementara dia memiliki sesuatu yang mencukupinya maka dia telah memperbanyak api neraka.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa ukuran sesuatu yang mencukupinya (sehingga tidak boleh meminta)?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
عَشَاءُ لَيْلَةٍ
“Dia memiliki sesuatu yang mengeyangkan selama sehari-semalam.” (HR. Ahmad 1253 dan dishahihkan al-Albani).
Imam Ahmad ditanya, kapankah seseorang itu wajib mengeluarkan zakat fitri?
Beliau rahimahullah menjawab:
إذا كان عنده فضل قوت يوم أطعم
“Jika dia memiliki sisa makanan satu hari maka wajib zakat.” (al-Masail Ishaq an-Naisaburi)
Ibn Qudamah mengatakan,
ولا تجب إلا بشرطين : أحدهما أن يفضل عن نفقته ونفقة عياله يوم العيد وليلته صاع لأن النفقة أهم فتجب البداءه بها لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ” اِبْدَأ بِنَفسِك وَبِمَن تَعُول
“Zakat fitri tidak wajib kecuali dengan dua syarat. Salah satunya, dia memiliki sisa makanan untuk dirinya dan keluarganya pada malam dan siang hari raya sebanyak satu sha’. Karena nafkah untuk pribadi itu lebih penting, sehingga wajib untuk didahulukan. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Mulai dari dirimu dan orang yang kamu tanggung nafkahnya.” (HR. Turmudzi).”
Kemudian Ibn Qudamah memberikan rincian,
Jika tersisa satu sha’ (dari kebutuhan makan sehari-semalam ketika hari raya) maka dia membayarkan satu sha’ tersebut sebagai zakat untuk dirinya.
Jika tersisa lebih dari 1 sha’ (misalnya: 2 sha’) maka satu sha’ untuk zakat dirinya dan satu sha’ berikutnya dibayarkan sebagai zakat untuk orang yang paling berhak untuk didahulukan dalam mendapatkan nafkah (misalnya: istri).
Jika sisanya kurang dari satu sha’, apakah sisa ini bisa dibayarkan sebagai zakat? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Wajib ditunaikan sebagai zakat, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika aku perintahkan sesuatu maka amalkanlah semampu kalian. (HR. Bukhari & Muslim)”
Tidak wajib ditunaikan. Karena belum memenuhi ukuran zakat yang harus ditunaikan (yaitu satu sha’).
Jika terdapat sisa satu sha’ namun dia memiliki hutang, maka manakah yang harus didahulukan? Dalam hal ini ada dua keadaan:
Orang yang memberi hutang meminta agar segera dilunasi maka didahulukan pelunasan hutang dari pada zakat. Karena ini adalah hak anak adam yang sifatnya mendesak.
Orang yang memberi hutang tidak menagih hutangnya maka wajib dibayarkan untuk zakat. Karena kewajiban zakat ini mendesak sementara kewajiban membayar hutang tidak mendesak. Sehingga lebih didahulukan zakat. (al-Kafi fi Fiqh Hambali, Ibnu Qudamah, 1/412).
Allahu a’lam
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta