JAKARTA, iNews.id - Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah diragukan kemampuan bertempurnya di medan perang. Saat itu, pasukan Abituren Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) tahun 1973 gagal berangkat ke Timor Timur (Timtim).
Padahal, pria kelahiran Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949 itu merupakan lulusan terbaik peraih Adhi Makayasa dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan kecerdasan intelektual.
Kisah itu diceritakan Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Purn Wismoyo Arismunandar dalam buku biografinya berjudul “Wismoyo Arismunandar Sosok Prajurit Sejati”.
Wismoyo memang sosok yang tegas dan detail dalam mempersiapkan anak buahnya untuk terjun ke medan operasi. Jika dirasa belum siap, Wismoyo tidak segan-segan membatalkan keberangkatan pasukannya.
Kala itu, SBY muda masih berpangkat Mayor Infanteri, ia mendapat tugas memimpin pasukannya ke daerah operasi Timor Timur. Medan operasi itu dianggap cukup berat karena harus menghadapi Tropas, kelompok bersenjata Fretilin yang sangat terlatih dan dilengkapi dengan persenjataan modern.
Sebelum diberangkatkan, sebagai Komandan Batalyon (Danyon), SBY bersama pasukannya lebih dahulu dicek kesiapannya oleh Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Wismoyo Arismunandar yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Kodam (Kasdam) IX/Udayana. Seketika, muncul keraguan di benak Wismoyo saat melihat sosok Danyon Mayor Inf Susilo Bambang Yudhoyono yang berbeda dengan komandan-komandan tempur lainnya.
“Komandan Batalyon kok kulitnya bersih begini?” ujar Wismoyo sambil menatap tajam Danyon Mayor Inf Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk mengetahui kemampuan kepemimpinan SBY, Wismoyo kemudian menunda keberangkatan SBY dan pasukannya ke Timor Timur. SBY kemudian diminta untuk melatih para Bintara di Kodam Udayana.
Tentu saja hal tersebut membuat SBY terkejut, karena tugas itu diberikan sangat mendadak. Apalagi menantu dari Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo ini sudah diperintahkan harus segera ke Dili, Timor Timur.
Tanpa bisa menolak, SBY kemudian memenuhi tugas dadakan tersebut dengan baik. Dua minggu kemudian, akhirnya kabar menggembirakan itu datang. SBY diperintahkan segera terbang ke Dili untuk memperkuat dan membantu TNI dalam operasi di Timor Timur. Wismoyo melihat SBY pantas memimpin batalyon di medan tempur menumpas kelompok bersenjata Fretilin.
SBY mengakui selama meniti kariernya di militer, dirinya tiga kali bertugas di Timor Timur pertama pada 1976-1977, kedua 1979-1980, dan ketiga 1986-1988.
"Saya pernah bertempur di Timor Timur. Tugas negara itu saya emban ketika saya masih berpangkat Letnan, Kapten, dan Mayor dengan jabatan Komandan Peleton, Komandan Kompi, dan Komandan Batalyon,” tulis SBY di akun Instagram @sbyudhoyonoachvs.
Dalam tulisannya tersebut, SBY juga menceritakan momen yang tidak dapat dilupakan saat bertugas di Timor-Timur.
“Saat itu Subuh di tahun 1976, Batalyon Infanteri Lintas Udara 305 sedang melaksanakan pertempuran di bagian barat Timor Timur. Kompi A dipimpin Kapten Agus Widjojo berada di depan, waktu itu peleton saya beserta peleton Lettu Endiarto Sutarto mendapat utgas bergerak paling depan. Disusul peleton Lettu Zainuddin sekitar pukul 05.30 terjadi kontak tembak antara Kompi A dengan satuan lawan. Kontak tembak itu hanya berlangsung sekitar setengah jam,” tulis SBY.
SBY juga menceritakan peristiwa yang tidak terlupakan saat bertempur di Timor Timur. Saat itu, dirinya menyaksikan seorang anak yang kehilangan ibunya akibat terkena peluru nyasar.
"Nah ketika kami harus melanjutkan gerakan ke depan, saya menjumpai seorang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun sedang menangis memeluk ibunya yang tertembak karena peluru nyasar. Meski bocah itu tidak mengerti apa arti perang apalagi politik tapi kesedihan begitu memuncak. Ketika beberapa menit yang lalu dia masih bercanda dan berada dalam pelukan yang amat disayanginya tiba-tiba dia harus menerima musibah yang amat berat tersebut. Peristiwa yang akan mengubah masa depan dan kehidupan anak itu selamanya,” tuturnya.
"Itu lah sisi lain peperangan. Kalau militer memang disumpah dan dilatih untuk mengemban tugas negara. Mereka tahu dan siap untuk mengorbankan jiwa dan raganya tetapi tentu bukan penduduk sipil yang sering disebut dengan non-kombatan bahkan sering disebut pula sebagai the innocent people," tutur SBY.
Kemampuan SBY dalam memimpin pasukan diakui mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto. Melalui buku biografinya “Endriartono Sutarto: Prajurit Profesional yang Humanis” diceritakan bagaimana kedua pasukan pernah bersama-sama berperang di palagan Timor Timur.
”Kami pernah melaksanakan kegiatan patroli terkoordinasi dengan pasukan yang dipimpin Lettu Infanteri Susilo Bambang Yudhoyono dengan rute saling menutup. Beberapa kali kontak tembak terjadi peleton SBY dan pasukannya dengan musuh tapi perlawanan musuh tidak pernah lama. Musuh langsung mundur dan menghilang,” tulis Endriartono Sutarto.
Editor : Arbi Anugrah