Berbagai macam teror ditebar. Bahkan ada pula upaya penculikan Presiden Soekarno beserta pejabat negara lainnya. Pendeknya, kalau tidak segera diambil langkah cepat dan tepat, bukan tidak mungkin nasib Indonesia akan tamat. Bak bunga layu bahkan sebelum sempat berkembang.
Tiba-tiba dari Jogja datang kabar gembira. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menawarkan diri menjadi ibukota. Tanpa pikir panjang karena memang tidak banyak pilihan, Soekarno-Hatta setuju.
=“Kami setuju (pindah) ke Jogja," begitu kira-kira respons Soekarno-Hatta, kala itu. Dirayu Belanda Pada 22 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan para pembesar lainnya ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Sementara, Sultan HB IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa dikhawatirkan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat.
Sri Sultan HB IX menolak ajakan untuk bekerja sama dengan Belanda. Dia pun menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait