LARANGAN perkawinan atau tabu nikah, baik itu antarsuku, antaragama, antarras maupun antargolongan kiranya menjadi sebuah bagian dari fenomena sosial-budaya di dalam masyarakat.
Salah satunya yang terkenal adalah adanya larangan menikah antara suku Jawa dan Sunda.
Sebagaimana diyakini oleh masyarakat luas, adanya larangan itu merujuk pada peristiwa sejarah Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit (Suku Jawa) dan Kerajaan Padjajaran (Suku Sunda).
Hingga saat ini, tak jarang masih banyak generasi muda yang menjadikannya sebagai momok dalam menjalin hubungan dengan pasangannya.
Terkait dengan fenomena tersebut, ternyata di tanah Banyumas sendiri juga terdapat kepercayaan serupa, yakni tabu nikah antara masyarakat di pedesaan Sokaraja-Purbalingga.
Mungkin cerita tersebut kurang populer ketimbang Babad Banyumas, maupun cerita tentang Kamandaka. Namun, ada baiknya sebagai masyarakat Banyumas, tahu dan memahami konteks dibalik adanya tabu pernikahan tersebut.
Oleh sebab itu, melalui jurnal ilmiah karya Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, selaku Guru Besar Pendidikan Sejarah di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), berjudul “Tabu Nikah Antara Masyarakat Purbalingga dengan Sokaraja” yang terbit di jurnal ilmiah Sosiohumaniora Unpad Bandung.
Editor : EldeJoyosemito