Lewat tulisannya, dua hendak memperluas cakrawala kita dalam melihat fenomena itu di tengah masyarakat.
Seperti yang telah dirangkum oleh iNewsPurwokerto.id, Selasa (7/6/2022), berikut ini adalah paparan sari pati dari tabu nikah Sokaraja-Purbalingga.
Latar belakang dari konflik yang menimbulkan adanya tabu nikah tersebut terjadi pada masa peralihan Banyumas sebagai daerah mancanegara barat Kasunanan Surakarta menjadi wilayah kekuasaan Kolonial Belanda di abad 18, tepatnya pada tanggal 22 Agustus 1831.
Peresmian Karesidenan Banyumas oleh Belanda membuat Sokaraja yang tadinya masuk dalam wilayah Kabupaten Banyumas kemudian dimasukkan dalam wilayah Purbalingga (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo 1969: 75).
Dengan demikian status Sokaraja pun berubah dari sebelumnya Katumenggungan Sokaraja (wedana bupati kanoman) menjadi distrik Sokaraja.
“Kiranya, terjadi konflik antarelit Sokaraja dengan Purbalingga yang digambarkan oleh Babad Purbalingga-Sokaraja serta folklor yang berkembang di masyarakat luas.
Konflik itu diredakan dengan dikembalikannya Sokaraja ke dalam wilayah Kabupaten Banyumas pada tahun 1834 (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo 1969: 75),” tulis Priyadi dalam jurnal ilmiahnya.
Sugeng Priyadi menggunakan beberapa naskah sebagai acuan yang mewakili masing-masing kubu, yakni Cerita Raden Kaligenteng, Babad Purbalingga-Sokaraja versi Kutasari, dan Babad Sokaraja versi Hilal yang ketiganya mewakili kelompok Sokaraja, sedangkan versi yang mewakili kelompok Purbalingga adalah naskah Babad Purbalingga-Sokaraja Versi Kalimanah.
Editor : EldeJoyosemito