Kedatangan para pimpinan PKI begitu dihormati oleh penduduk. Di mana setiap ada perjamuan, penduduk tak pernah lupa membawakan oleh-oleh makanan.
Namun rupanya, sambutan hangat itu membuat para pimpinan PKI lupa diri. Mereka malah membuat jarak dengan rakyat dengan memperlihatkan tabiat sebagai warga kota yang harus selalu dilayani.
Mereka tidak mau membaur dengan warga desa. Tidak mau makan bersama, tidak mau tinggal bersama, tidak mau bekerja bersama. Kebiasaan hidup borjuis di kota diperlihatkan di Blitar Selatan.
"Mereka cenderung bersifat sebagai atasan yang perlu menerima pelayanan istimewa, bagaikan raja-raja kecil di desa-desa".
Meskipun tinggal di desa-desa, beberapa kader masih ingin memperoleh makanan dan rokok dari kota. Melalui kurir-kurir, mereka membeli barang-barang keperluan dari kota. Seperti rokok Gudang Garam, Bentoel, Djie Sam Soe dan kacang Lip Lip Hiong.
Namun rupanya, sampah-sampah bungkusan makanan dan barang-barang dari kota itu menarik perhatian para petugas keamanan negara, tanpa disadari oleh pemimpin PKI. Pasalnya, dari penyelidikan diketahui bahwa barang-barang itu tidak mungkin milik oleh warga desa.
"Ini mempermudah pasukan penumpas untuk mengetahui di mana para tokoh PKI bersembunyi dan di mana basis koordinasi gerakan bersenjata dilakukan," tulis Siauw Giok Tjhan dalam G30S Dan Kejahatan Negara.
Sambutan hangat dan rasa hormat yang sebelumnya diberikan oleh warga desa berubah dan berbalik menjadi tidak simpatik. Hal itu disebabkan aksi perampok yang dilakukan PKI. Meski awalnya menyasar orang-orang kaya, kemudian meluas ke siapa saja.
Rakyat Blitar Selatan berbalik membantu operasi militer yang digelar rezim Soeharto. Dilain sisi hancurnya gerakan PKI di Blitar Selatan juga disenangi adanya tokoh-tokoh yang berkhianat setelah tertangkap. Gerakan PKI di Blitar Selatan ini pun tidak berumur panjang.
Artikel ini telah tayang di INews.id dengan judul: "Kisah Gerakan PKI di Blitar Selatan, Terungkap gegara Bungkus Rokok dan Kacang".
Editor : Arbi Anugrah