Selain memahami Al-Quran dengan sangat sempurna, Kiai Mojo juga menguasai sejarah dan manuskrip-manuskrip Arab. Tidak hanya menguasai ilmu agama dan sejarah, Kiai Mojo juga memiliki kemampuan berorganisasi.
Berkat kepribadiannya yang rendah hati meski berilmu tinggi, dia bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Dia membangun jaringan dan hubungan yang karib dengan banyak pesantren baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan hingga Bali.
Kiai Mojo pernah menjadi penghubung antara Kraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Kemampuan itu pula yang memudahkan dia memobilisasi kekuatan ulama dan santri saat dibutuhkan. Itu terbukti ketika Kiai Mojo mendukung penuh Pengeran Diponegoro.
Para santri dan tokoh agama bersatu mendukung Pangeran Diponegoro berperang melawan Belanda. Kedua kelompok tersebut pun turut berkumpul di Selarong yang dijadikan markas perjuangan Pangeran Diponegoro.
Dalam buku 'Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785–1825', disebutkan ada sekitar 200 laki-laki dan perempuan kaum santri yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Beberapa di antara mereka bahkan terdapat orang Arab dan peranakan Tionghoa.
Ada juga golongan santri istana yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Mereka semua dimobilisasi Kiai Mojo untuk ikut berperang bersama Diponegoro.
Kiai juga memobilisasi keluarga besar dan para santrinya yang datang dari tiga pesantren di Mojo dan Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri. Semua kiprah dan kehebatan Kiai Mojo menjadi informasi penting yang disampaikan mata-mata kepada kompeni.
Sang mata-mata tentu tidak hanya melapor kehebatan Panglima Kiai Mojo, tapi juga kelemahannya. Dari informasi-informasi penting itu, pimpinan perang Belanda menyusun strategi untuk menaklukan kekuatan Pangeran Diponegoro.
Editor : EldeJoyosemito