Pada 1828, tibalah saatnya bagi Belanda untuk menangkap Kiai Mojo. Saat itu, ada selisih paham antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro. Kiai diperintahkan untuk kembali ke tempat kelahirannya di Pajang.
Dalam perjalanannya ke Pajang, Kiai Mojo kemudian dibujuk muridnya, Kiai Dadapan agar mau bertemu perwakilan Belanda, Letnan Kolonel Wironegoro. Kiai Mojo kemudian bertemu dengan Letnan Kolonel Wironegoro pada Oktober 1828 dengan mengajukan beberapa permintaan.
Letnan Kolonel Wironegoro menyetujuinya dengan syarat Kiai Mojo bersedia menghentikan perang. Kiai Mojo melaporkan pertemuan itu kepada Pangeran Diponegoro melalui surat.
Setelah membaca surat dari Kiai Mojo, Pangeran Diponegoro marah. Lalu Pangeran Diponegoro memanggil Kiai Mojo kembali ke markas di daerah Pengasih. Pada tahun 12 November 1828 Kiai Mojo ditangkap di Desa Kembang Arum, utara Yogyakarta.
Ini menandai titik balik perjuangan Diponegoro, sampai akhirnya redup pada 1830. Pasukan Kiai Mojo lalu digiring ke Klaten, lalu dibawa ke Batavia, ditahan hingga setahun lamanya. Di awal 1830, Kiai Mojo bersama lebih dari 60 orang pengikutnya dibuang ke Minahasa.
Istrinya menyusul setahun kemudian. Kebanyakan pendampingnya itu punya posisi strategis dalam bidang kemiliteran dan keagamaan dalam pasukan Diponegoro. Mereka tiba di Tondano dan mendirikan Kampung Jawa di sana.
Kiai Mojo wafat di tempat pengasingan pada 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Roh perjuangan Kiai Mojo tertuang dalam manuskrip berbahasa Jawa huruf pegon yang ditulisnya di Tondano, Minahasa, sekitar awal tahun 1833.
Tertulis dalam manuskrip itu kalimat "berjuang untuk kepentingan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam".
Editor : EldeJoyosemito